Ketika Sawah Jadi Korban Tambang: Krisis Pangan di Tengah Janji Pemulihan Lingkungan

Aksaranusa, Luwu Timur – Di tengah gegap gempita peringatan Hari Pangan Nasional di berbagai daerah Indonesia, ironi justru datang dari jantung pertanian Luwu Timur. Para petani di Desa Timampu dan Matompi, Kecamatan Towuti, tidak sedang merayakan hasil bumi. Mereka justru bergulat dengan kenyataan pahit: sawah mereka tergenang minyak, aliran air tertutup, dan panen gagal total.

Sejak kebocoran pipa minyak milik PT Vale Indonesia Tbk. pada 23 Agustus 2025, kehidupan pertanian di dua desa tersebut praktis lumpuh. Lumpur bercampur minyak yang menghitam menutupi saluran irigasi, menghambat aliran air bersih, dan membuat tanaman padi mati sebelum waktunya.

Krisis ini bukan sekadar soal pencemaran lingkungan, tetapi ancaman nyata terhadap ketahanan pangan daerah. Towuti, yang selama ini dikenal sebagai salah satu sentra produksi beras di Luwu Timur, kini menghadapi potensi gagal panen massal.

“Airnya masih hitam dan licin, padinya mati semua. Kami tidak bisa tanam lagi,” ujar seorang petani Timampu dengan nada pasrah.

Sementara warga berjuang mempertahankan penghidupan, janji pemulihan dan kompensasi dari PT Vale masih menggantung. Perusahaan memang telah melakukan sosialisasi dan penyerahan kompensasi secara simbolis, namun sebagian besar petani mengaku belum menerima apa pun.

Sebaliknya, muncul kesan bahwa perusahaan berusaha menutup persoalan dengan narasi “semua sudah aman”. Padahal di lapangan, warga masih menemukan rembesan minyak dan sponge boom (penghalau minyak) yang belum dicabut dari aliran sungai.

Kekecewaan itu akhirnya memuncak pada 16 Oktober 2025, saat warga membuka paksa pintu air dan melepaskan alat penghalau minyak di beberapa titik. Aksi tersebut bukan bentuk anarki, tetapi ekspresi frustrasi terhadap proses pemulihan yang tak kunjung jelas.

Menurut Amrullah, Ketua Jaringan Komunikasi Lingkar Tambang Indonesia (JKM LTI), insiden ini menunjukkan lemahnya tanggung jawab industri terhadap dampak sosial-lingkungan di sekitar wilayah operasi.

“Towuti kehilangan lebih dari sekadar air bersih. Ini soal hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan dan pemerintah yang seharusnya melindungi mereka,” tegasnya.

Ia juga menilai, pemulihan yang dilakukan belum menyentuh akar masalah. Lumpur yang diangkat dari muara Danau Towuti justru dibuang ke darat tanpa pengelolaan, menimbulkan potensi pencemaran baru.

Dari sisi sosial, efek domino mulai terasa. Aktivitas ekonomi petani berhenti, daya beli menurun, dan ketergantungan pada bantuan sosial meningkat. Sebuah siklus krisis yang seharusnya bisa dicegah andai tata kelola lingkungan lebih ketat dan akuntabel.

Kini, krisis Towuti menjadi cermin bagi bangsa: bahwa kedaulatan pangan tak akan pernah tercapai tanpa kedaulatan ekologis. Ketika sawah menjadi korban tambang, maka yang terancam bukan hanya hasil panen, tapi masa depan masyarakat yang menggantungkan hidup pada tanah dan air.

Karena itu, yang dibutuhkan bukan sekadar kompensasi, melainkan pertanggungjawaban ekologis yang jujur dan berkelanjutan. Pemerintah, baik daerah maupun pusat, harus memastikan proses investigasi dan pemulihan dilakukan secara transparan — bukan hanya demi lingkungan, tetapi demi hak hidup petani yang kini kehilangan tanah airnya, secara harfiah dan maknawi.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *